Jakarta, Garudatimes.com – Psikolog pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, menyatakan bahwa sistem ranking di sekolah sebenarnya tidak diperlukan sebagai indikator utama dalam menilai hasil belajar siswa. Menurutnya, pendidikan seharusnya berfokus pada pengembangan pemahaman dan kompetensi anak di setiap tingkatan kelas.
“Yang penting adalah apakah siswa memahami materi pelajaran dan memiliki kompetensi yang sesuai dengan usianya, bukan sekadar mengejar peringkat,” ujar psikolog yang akrab disapa Bunda Romi dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Menurut Romi, siswa yang tidak berada di peringkat teratas bisa kehilangan kepercayaan diri, padahal perolehan nilai rendah bisa saja disebabkan oleh faktor-faktor non-akademis, seperti kondisi kesehatan saat ujian. Ia juga menekankan bahwa penilaian siswa tidak seharusnya hanya berdasar pada ujian akhir, tetapi juga melihat proses pembelajaran secara menyeluruh.
“Guru perlu memperhatikan perkembangan kemampuan siswa selama proses belajar, bukan hanya memastikan kenaikan kelas. Yang utama adalah apakah siswa memiliki kompetensi yang dibutuhkan di kelasnya,” kata Romi.
Senada dengan itu, psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Poespita Candra, menilai bahwa sistem ranking tidak lagi relevan dengan kebutuhan dunia pendidikan di era Revolusi Industri 5.0. Menurutnya, dunia saat ini justru memerlukan manusia yang memiliki kecerdasan unik dan orisinal, yang tidak dapat digantikan oleh kecerdasan buatan (AI). Sistem pendidikan yang masih berfokus pada ranking dianggapnya tidak mendukung pengembangan kecerdasan tersebut.
“Setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda, mulai dari kecerdasan akademis, seni, hingga kecerdasan emosional. Penilaian yang hanya berfokus pada ranking akademis berisiko mengabaikan potensi anak-anak di bidang lain,” jelas Novi.
Novi menyoroti bahwa sistem pendidikan yang berorientasi pada menghafal (memorizing) cenderung melupakan pentingnya berpikir kritis, yang seharusnya dikembangkan sejak dini. Dari sisi psikologis, ia memperingatkan bahwa sistem ranking bisa berdampak buruk, baik bagi siswa yang tidak mendapat peringkat tinggi maupun yang selalu berada di posisi teratas.
Anak-anak yang selalu mendapatkan peringkat tertinggi, menurut Novi, berisiko memiliki “fixed mindset” atau pola pikir kaku, sehingga merasa tidak perlu belajar dari siswa lain yang tidak memiliki peringkat tinggi. Sebaliknya, siswa yang berada di peringkat biasa-biasa saja justru berpotensi memiliki “growth mindset,” yang membuat mereka terbuka untuk belajar dari berbagai hal.
“Anak-anak dengan ranking tertinggi mungkin merasa takut gagal dan tertekan oleh ekspektasi tinggi masyarakat. Padahal, menghadapi kegagalan adalah bagian penting dari proses belajar,” tambah Novi.
Novi juga menyoroti bahwa sistem pendidikan yang hanya menilai akademik seringkali mengabaikan kecerdasan lain. Hal ini bisa menghambat anak untuk menemukan potensi uniknya dan mengembangkan kecerdasan orisinal yang dimiliki.