Tanah bukan hanya soal lahan fisik, tapi juga soal identitas, ekonomi, bahkan bisa jadi sumber konflik. Di Indonesia, permasalahan pertanahan seakan tak pernah surut. Meski sudah ada dasar hukum yang jelas, praktik di lapangan seringkali menunjukkan bahwa hukum pertanahan di Indonesia masih jauh dari kata sempurna.
Opini ini hadir sebagai bentuk refleksi—bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi untuk mengajak kita semua memahami kenapa urusan tanah di negeri ini terasa begitu kompleks, dan apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara.
Mengapa Hukum Pertanahan Itu Penting?
Dilansir dari situs pastibpn.id, tanah adalah sumber daya penting bagi kehidupan masyarakat. Tidak hanya untuk tempat tinggal, tapi juga pertanian, investasi, pembangunan, bahkan spiritualitas. Maka dari itu, hukum yang mengatur pertanahan harus kuat, adil, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Sayangnya, yang terjadi justru sering kali sebaliknya.
-
Masih banyak warga yang kesulitan mendapatkan sertifikat tanah
-
Sengketa tanah makin marak, terutama di kawasan berkembang
-
Tumpang tindih perizinan antara pusat dan daerah
-
Lemahnya penegakan hukum atas mafia tanah
Lalu, di mana letak masalah utamanya?
Landasan Hukum Pertanahan di Indonesia
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita pahami dulu kerangka hukum yang mengatur soal tanah di Indonesia. Beberapa regulasi utama antara lain:
-
UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3): Menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
-
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960: Menjadi fondasi utama hukum agraria nasional.
-
Peraturan Pemerintah & Peraturan Menteri ATR/BPN: Mengatur teknis pendaftaran tanah, konversi hak, hingga tata ruang.
Meski terlihat lengkap, implementasinya masih jauh dari ideal.
Tantangan Nyata dalam Hukum Pertanahan
Berikut ini beberapa tantangan yang masih sering ditemui:
1. Tumpang Tindih Lahan
Banyak kasus di mana satu bidang tanah diklaim oleh dua atau lebih pihak berbeda dengan surat yang sama-sama “resmi”. Ini terjadi karena kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah, serta lemahnya sistem digitalisasi tanah.
2. Sertifikasi Tanah yang Lambat
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) memang membantu, tapi di banyak wilayah, proses sertifikasi masih memakan waktu lama dan rawan pungli.
3. Mafia Tanah
Praktek manipulasi data, pemalsuan dokumen, dan keterlibatan oknum aparat menjadikan mafia tanah sebagai aktor yang sulit disentuh hukum.
4. Ketimpangan Kepemilikan
Di satu sisi, petani kesulitan mengakses lahan. Di sisi lain, korporasi atau individu berkantong tebal bisa menguasai ribuan hektare. Ini menciptakan ketidakadilan struktural yang berbahaya bagi keadilan sosial.
Apakah Perlu Reformasi Agraria Lagi?
Program reformasi agraria pernah digaungkan dengan sangat kuat, terutama pada era pemerintahan sebelumnya. Tujuannya mulia: redistribusi tanah bagi masyarakat yang berhak dan legalisasi aset bagi yang belum bersertifikat.
Namun kenyataannya, banyak program ini berjalan setengah hati. Redistribusi lahan terkadang hanya simbolik, dan konflik lahan masih terjadi di banyak daerah, khususnya wilayah adat dan pinggiran kota.
Maka, ya—kita masih butuh reformasi agraria yang sungguh-sungguh. Bukan sekadar wacana politik atau angka di laporan tahunan.
Apa Solusinya?
Sebagai warga negara, kita juga punya peran. Berikut beberapa langkah yang menurut saya bisa memperbaiki sistem hukum pertanahan di Indonesia:
-
Digitalisasi data pertanahan secara menyeluruh, transparan, dan terintegrasi
-
Pengawasan ketat terhadap mafia tanah, termasuk membuka akses publik terhadap proses hukum
-
Memperkuat hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka, dengan skema hukum yang diakui negara
-
Peningkatan literasi hukum bagi masyarakat, terutama soal hak atas tanah
-
Mendorong reformasi agraria yang adil, bukan hanya redistribusi, tapi juga akses pendampingan dan modal
Penutup
Hukum pertanahan di Indonesia idealnya jadi alat untuk menghadirkan keadilan sosial dan perlindungan bagi seluruh warga. Namun selama masih ada celah dalam implementasi, hukum bisa jadi alat kekuasaan atau komoditas ekonomi oleh mereka yang punya akses.
Kita perlu mengawasi, mengkritik, dan ikut serta dalam mendorong sistem hukum pertanahan yang lebih adil dan berpihak pada rakyat. Karena tanah bukan sekadar tanah—ia adalah masa depan, identitas, dan hak hidup yang harus dilindungi bersama