Garudatimes.com – Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, memberikan klarifikasi terkait pernyataannya mengenai denda damai bagi koruptor yang sebelumnya menuai kritik luas. Dalam konferensi pers di Kantor Kemenkum, Jumat (27/12), Supratman menegaskan bahwa pernyataan tersebut hanya sebagai komparasi regulasi dan tidak mencerminkan kebijakan yang akan diambil pemerintah.
Klarifikasi Komparasi Regulasi
Supratman menjelaskan, pernyataan tentang denda damai dalam Undang-Undang Kejaksaan yang ia sebutkan hanya bertujuan untuk membandingkan aturan yang ada. Menurutnya, pemerintah masih mencari formula terbaik untuk menangani kasus pidana yang merugikan keuangan negara di luar jalur pengadilan.
“Itu hanya sebagai perbandingan bahwa ada aturan seperti itu, tetapi bukan berarti Presiden akan menempuh kebijakan tersebut. Sama sekali tidak,” ujar Supratman.
Ia juga menekankan bahwa kewenangan mengenai denda damai sepenuhnya ada di tangan Jaksa Agung. Presiden, menurutnya, tidak memiliki kewenangan langsung terkait penerapan denda damai tersebut.
Tanggapan Terhadap Wacana Denda Damai
Sebelumnya, isu denda damai bagi koruptor sempat mencuat menyusul pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang membuka wacana memaafkan koruptor jika mereka mengembalikan kerugian negara. Dalam keterangannya, Supratman menyebut bahwa Kejaksaan Agung memiliki dasar hukum untuk menerapkan denda damai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru.
“Undang-Undang Kejaksaan memberikan ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai dalam kasus tertentu,” jelas Supratman dalam pernyataan tertulis pada Senin (23/12).
Namun, pernyataan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak yang menilai bahwa langkah tersebut berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan mengurangi efek jera bagi pelaku korupsi.
Penjelasan Kejaksaan Agung
Menanggapi polemik ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, memberikan penegasan. Ia menjelaskan bahwa denda damai tidak berlaku untuk kasus tindak pidana korupsi (tipikor).
Harli mengacu pada Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI, yang menyebutkan bahwa denda damai dapat diterapkan pada tindak pidana ekonomi yang merugikan perekonomian negara, seperti pelanggaran di bidang kepabeanan dan cukai.
“Kalau dari aspek teknis yuridis, tipikor tidak termasuk dalam kategori tindak pidana ekonomi yang dapat diterapkan denda damai, kecuali ada perubahan definisi yang memasukkan korupsi ke dalam tindak pidana ekonomi,” jelas Harli.
Fokus pada UU Tipikor
Harli menegaskan bahwa penanganan kasus korupsi tetap harus mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Ia juga menambahkan bahwa penerapan denda damai dalam tindak pidana ekonomi harus mendapatkan persetujuan dari Jaksa Agung.
Klarifikasi ini diharapkan dapat meredakan polemik yang berkembang di masyarakat sekaligus menegaskan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi secara tegas.