Jakarta, Garudatimes.com – Penggunaan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dalam proses advokasi hukum perusahaan kini makin marak. Di tengah dunia bisnis yang sangat membutuhkan kepastian hukum, keberadaan regulasi yang jelas menjadi semakin penting untuk mengakomodasi perkembangan teknologi ini.
Kepastian hukum dalam bisnis memungkinkan perusahaan beroperasi dengan percaya diri, meminimalkan risiko hukum, serta mempertahankan posisi strategis saat menghadapi tantangan regulasi atau perselisihan hukum. Melalui advokasi yang efektif, perusahaan bisa lebih mudah merumuskan kebijakan dan merespons perubahan regulasi dengan cepat.
Di sisi lain, pemanfaatan AI dalam advokasi hukum membawa dampak signifikan bagi efisiensi dan efektivitas pengelolaan masalah hukum perusahaan. Teknologi ini mampu menganalisis data hukum, merumuskan kontrak, serta menilai risiko dengan lebih cepat. Hal tersebut tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga mengurangi biaya operasional, yang menjadi salah satu faktor krusial dalam keberlangsungan bisnis.
Namun, ketergantungan pada AI dalam advokasi hukum masih menyisakan risiko, terutama jika tidak didukung regulasi yang memadai. Potensi kesalahan atau bias pada analisis yang dihasilkan AI bisa berdampak negatif pada keputusan perusahaan. Jika AI memberikan rekomendasi hukum yang kurang tepat, perusahaan mungkin akan mengambil keputusan yang berisiko dan berpotensi merugikan.
Para pelaku bisnis dan ahli hukum menekankan perlunya aturan yang jelas terkait penggunaan AI dalam advokasi hukum. Standar hukum yang kuat akan memberikan pedoman bagi firma hukum maupun tim hukum internal perusahaan dalam memanfaatkan teknologi ini dengan aman dan bertanggung jawab. Dengan demikian, risiko malfungsi AI yang dapat mempengaruhi reputasi serta stabilitas hukum perusahaan dapat diminimalkan.
AI dalam Profesi Hukum
Penggunaan AI di sektor hukum menawarkan kemudahan dalam berbagai aspek, seperti analisis kasus, pengolahan data, hingga penyusunan dokumen hukum. Firma hukum di Indonesia telah mulai menerapkan teknologi ini, meskipun belum secara menyeluruh. Kendati demikian, kasus-kasus malfungsi AI masih kerap terjadi dan menimbulkan berbagai permasalahan, misalnya dalam interpretasi hukum yang bias atau dokumen yang tidak akurat.
Kasus malfungsi AI yang terjadi menimbulkan dilema terkait tanggung jawab hukum. Sejauh ini, tidak ada kejelasan siapa yang harus bertanggung jawab atas kesalahan yang ditimbulkan oleh AI dalam konteks hukum, apakah pihak pengacara yang menggunakannya atau penyedia teknologi AI itu sendiri.
Pengaturan yang memperhatikan prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sangat dibutuhkan untuk mendukung penggunaan AI dalam sektor advokasi hukum. Regulasi yang berkeadilan akan menjamin bahwa teknologi yang digunakan tidak merugikan klien atau pihak yang terlibat dalam proses hukum. Selain itu, regulasi juga perlu mempertimbangkan prinsip kemanfaatan, yakni memastikan bahwa teknologi AI memberikan manfaat bagi pengacara dan klien secara adil.
Di sisi lain, prinsip kepastian hukum diperlukan untuk menghindari ketidakpastian yang mungkin terjadi akibat tidak adanya aturan yang jelas tentang tanggung jawab hukum jika AI mengalami malfungsi.
Urgensi Regulasi Penggunaan AI dalam Hukum
Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan penyusunan regulasi yang mengatur penggunaan AI di sektor hukum. Regulasi ini diharapkan mencakup standar minimum untuk pengujian teknologi AI, tanggung jawab hukum dalam kasus malfungsi, serta pedoman etika bagi para advokat yang memanfaatkan AI dalam proses hukum.
Keberadaan regulasi yang jelas akan memberikan perlindungan hukum bagi klien dan memastikan bahwa hasil yang dihasilkan AI telah diverifikasi dengan baik. Langkah ini penting agar klien merasa aman dan yakin dengan hasil kerja firma hukum yang menggunakan teknologi AI. Selain itu, regulasi juga akan mengatur proses verifikasi dokumen dan informasi yang dihasilkan oleh AI, sehingga mencegah potensi kesalahan atau bias yang bisa merugikan klien.
Aspek transparansi dalam penggunaan AI oleh firma hukum juga menjadi sorotan. Para advokat disarankan untuk memberikan informasi kepada klien tentang penggunaan AI dalam proses hukum, termasuk menjelaskan bagaimana data klien diolah dan dilindungi sesuai dengan regulasi, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang berlaku di Indonesia.
Tantangan Regulasi AI di Indonesia
Saat ini, regulasi yang spesifik mengatur penggunaan AI di sektor hukum di Indonesia masih minim. Undang-undang yang ada, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU PDP, baru fokus pada aspek privasi, transaksi elektronik, serta keamanan data. Keduanya belum mencakup pengaturan khusus untuk kasus malfungsi atau kesalahan AI dalam konteks profesional hukum.
Ketika AI mengalami malfungsi dan menyebabkan kesalahan pada analisis hukum atau rekomendasi yang diberikan, dampaknya bisa mempengaruhi hasil dari suatu kasus hukum. Tidak adanya aturan yang jelas menyebabkan kesulitan dalam menentukan tanggung jawab jika terjadi kerugian akibat penggunaan teknologi ini.
Untuk menutup kesenjangan tersebut, beberapa negara mulai menerapkan regulasi yang mengatur penggunaan AI di sektor profesional, termasuk hukum. Indonesia sendiri masih dalam tahap awal dalam upaya ini, dan diharapkan segera mengeluarkan regulasi yang spesifik mengatur standar pemakaian AI dalam ranah advokasi hukum.
Dengan adanya regulasi yang mendukung, penggunaan AI dalam hukum akan berjalan dengan lebih aman dan bertanggung jawab, serta memberikan kepastian hukum yang kuat bagi klien. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap profesi hukum serta menjaga hak-hak klien dari potensi risiko yang muncul dari pemanfaatan teknologi AI yang belum terintegrasi dalam kerangka hukum yang jelas.