Washington DC, Garudatimes.com – Mayoritas hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat (SCOTUS) pada Jumat (10/1/2025) mengindikasikan dukungan untuk memberlakukan pemblokiran aplikasi media sosial TikTok. Langkah ini menjadi kelanjutan dari upaya pemerintah AS untuk mengatasi potensi risiko keamanan data.
Presiden Joe Biden sebelumnya telah mengeluarkan perintah pada April 2024 yang mewajibkan ByteDance—perusahaan induk TikTok asal China—untuk menjual operasional aplikasinya di AS. Jika ByteDance gagal mematuhi perintah tersebut, TikTok akan diblokir secara penuh di negara itu.
Pengacara TikTok, Noel Francisco, menyatakan bahwa aplikasi tersebut kemungkinan besar akan dihentikan operasinya pada 19 Januari 2025 sesuai tenggat waktu yang ditetapkan. Jika pemblokiran diberlakukan, TikTok tidak lagi tersedia di toko aplikasi, dan seluruh layanannya di AS akan terhenti.
TikTok memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi memengaruhi lebih dari 170 juta penggunanya di Amerika Serikat.
Alasan Pemblokiran TikTok
Dilansir dari USA Today, pemerintah AS mengkhawatirkan kemungkinan ByteDance berbagi data pengguna TikTok dengan pemerintah China. Kekhawatiran ini telah memicu berbagai langkah regulasi terhadap aplikasi tersebut dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2020, mantan Presiden Donald Trump sempat mengeluarkan perintah eksekutif untuk memblokir TikTok dan melarang transaksi dengan ByteDance. Namun, kebijakan itu tidak pernah diberlakukan sepenuhnya. Ketika Biden menjabat pada 2021, ia mencabut larangan Trump dan menggantinya dengan perintah baru yang tetap memusatkan perhatian pada potensi risiko keamanan dari ByteDance.
Pada 2022, Biden juga menandatangani keputusan yang melarang penggunaan TikTok di perangkat pemerintah federal. Langkah ini semakin mempertegas sikap keras AS terhadap aplikasi tersebut.
Dampak yang Dirasakan
Menurut laporan Pew Research Center pada November 2024, sekitar sepertiga orang dewasa di AS menggunakan TikTok, dengan 59 persen pengguna berusia di bawah 30 tahun. Sebanyak 95 persen pengguna dewasa memanfaatkan aplikasi ini untuk hiburan.
Selain itu, TikTok mempekerjakan sekitar 7.000 karyawan di AS. Namun, hingga kini belum ada kejelasan mengenai nasib para pekerja tersebut jika pemblokiran diberlakukan.
Kebijakan ini menjadi perdebatan panas di AS, terutama karena menyangkut kepentingan keamanan data, kebebasan digital, dan dampaknya pada pengguna serta ekonomi digital di negara tersebut. TikTok sendiri belum memberikan tanggapan lebih lanjut terkait langkah-langkah yang akan diambil menjelang tenggat waktu pemblokiran.