Jakarta, Garudatimes.com– Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan korupsi dalam perdagangan timah dengan terdakwa Harvey Moeis. Dalam sidang tersebut, Harvey mengungkapkan bahwa dana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) yang dikumpulkan dari para pengusaha smelter swasta digunakan untuk membeli alat kesehatan guna penanggulangan Covid-19.
“Untuk Covid-19, Yang Mulia. Saya gunakan dana itu untuk membeli alat-alat kesehatan yang sangat dibutuhkan,” ungkap Harvey saat memberikan keterangan di depan majelis hakim pada Senin, 4 November 2024.
Harvey menjelaskan bahwa kurangnya ketersediaan alat kesehatan serta tingginya angka penyebaran Covid-19 pada saat itu menjadi alasan utamanya. Hakim kemudian mempertanyakan alasan penggunaan dana CSR untuk membeli peralatan kesehatan tersebut, yang menurut Harvey merupakan solusi cepat dalam situasi darurat.
“Ketika itu alat kesehatan sangat sulit didapatkan, Yang Mulia. Kebetulan ada rekan yang menawarkan bantuan pengadaan,” jawab Harvey.
Namun, Harvey mengaku belum sempat menyampaikan informasi kepada para petinggi smelter mengenai pengalokasian dana CSR untuk pengadaan alat kesehatan tersebut. Peralatan yang dibeli kemudian disalurkan ke dua rumah sakit di Jakarta, yakni RSCM dan RSPAD.
“Salah satunya disalurkan ke RSCM dan RSPAD, Yang Mulia,” terang Harvey yang juga merupakan suami dari artis Sandra Dewi. Ia menjelaskan bahwa alat kesehatan langsung dikirim oleh pemasok ke rumah sakit karena sulitnya distribusi pada masa awal pandemi. Pihak pemasok saat itu menawarkan tiga ventilator dan dua alat PCR.
Dalam kasus ini, Harvey Moeis diduga menerima insentif dari Suparta, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), senilai Rp50 juta hingga Rp100 juta setiap bulan sebagai imbalan atas peran Harvey sebagai penghubung perusahaan. Harvey mengaku bahwa dana tersebut diterima melalui transfer langsung ke rekeningnya, tanpa adanya perjanjian tertulis.
“Saya baru mengetahuinya ketika memeriksa rekening koran saya saat diperiksa,” jelas Harvey. Meski demikian, Harvey menyatakan bahwa kerjasama tersebut hanya berlangsung singkat dan tidak melibatkan pertemuan rutin. Harvey mengeklaim bahwa peran ini dijalaninya atas dasar hubungan personal dengan Suparta, yang ia anggap seperti keluarga.
Selain Harvey, kasus dugaan korupsi timah ini juga melibatkan beberapa terdakwa lain, termasuk Suwito Gunawan alias Awi, pemilik PT Stanindo Inti Perkasa (SIP); Robert Indarto, Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS); dan Rosalina, mantan General Manager Operational PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2017-2020. Suwito diduga menerima aliran dana sebesar Rp2,2 triliun, sementara Robert menerima Rp1,9 triliun. Dana yang mereka terima diduga telah dialihkan melalui tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Para terdakwa dalam kasus ini didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Khusus untuk terdakwa Rosalina, meskipun diduga terlibat dalam korupsi timah, ia tidak terbukti menerima dana ataupun melakukan TPPU.
Dugaan korupsi timah ini mengakibatkan kerugian negara hingga Rp300 triliun, yang meliputi kerugian atas kerja sama sewa alat pengolahan timah dengan smelter swasta sebesar Rp2,28 triliun, pembayaran biji timah ke mitra tambang PT Timah senilai Rp26,65 triliun, dan kerugian lingkungan senilai Rp271,07 triliun.