Jakarta, Garudatimes.com — Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta, meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk membuka secara jelas kronologi penyelidikan kasus dugaan korupsi impor gula kristal mentah yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, atau dikenal sebagai Tom Lembong.
Gandjar menilai bahwa transparansi dalam pengungkapan kronologi kasus sangat penting untuk memastikan bahwa penyelidikan yang dilakukan benar-benar berdasarkan penegakan hukum tanpa pengaruh politik. “Publik perlu diyakinkan bahwa proses ini murni demi hukum. Jika ada kejanggalan, tentu dapat memunculkan ketidakpercayaan publik,” ujar Gandjar di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan bahwa suatu kasus biasanya dimulai dari tiga kemungkinan, yakni penangkapan tangan, temuan pihak berwenang, atau laporan dari masyarakat. Namun, hingga kini, Kejagung belum mengungkapkan dasar awal dari penyelidikan kasus ini.
“Saya tidak bertanya siapa yang melapor, tapi laporan itu kapan masuk? Apakah sejak lama atau baru-baru ini? Publik perlu tahu agar prosesnya terlihat wajar. Jangan sampai ternyata laporan baru masuk tiga hari sebelum penetapan tersangka, karena ini akan tampak terlalu cepat dan mencurigakan,” lanjut Gandjar.
Menurutnya, penegakan hukum harus dijalankan dengan hati-hati dan sesuai prosedur yang diatur dalam hukum acara pidana. “Jika prosesnya tidak sesuai aturan, maka itu dianggap cacat dan harus diulang dari awal,” tegas Gandjar.
Meski demikian, Gandjar tidak mempermasalahkan keterlambatan penyelidikan kasus yang terjadi pada tahun 2015 dan baru diselidiki pada Oktober 2023. Ia menjelaskan bahwa kasus tindak pidana korupsi memiliki masa kedaluwarsa hingga 18 tahun.
Sebelumnya, Kejagung pada 29 Oktober 2023 menetapkan Thomas Trikasih Lembong sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait impor gula yang dilakukan pada 2015–2016 saat ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qodar, menjelaskan bahwa kasus ini bermula ketika dalam rapat koordinasi antarkementerian pada 2015 disimpulkan bahwa Indonesia tidak perlu melakukan impor gula karena mengalami surplus.
Namun, meski keputusan rapat menunjukkan surplus, Tom Lembong tetap memberikan izin impor gula kristal mentah kepada PT AP di tahun yang sama, yang diduga menimbulkan kerugian negara.